Ibu, aku berterima kasih karena Tuhan mengijinkanku lahir dari rahimmu. Ayah, aku berterima kasih karena telah menjadi anakmu. Ketika kudengar cemoohan dan penyesalan orang lain kepada orang tua mereka, rasanya bayangan ini tertuju pada mereka yang telah membesarkanku. Mereka yang setiap kali aku jauh akan merindukanku. Mereka yang setiap kali aku salah, akan segera memarahiku bukan karena benci tapi karena ingin aku melakukan hal yang benar.
Ketika kini aku jauh, hati ini masih tetap dekat. Di perantauanku, kumohon kepada Rabb yang Maha Kuasa,
"Ya Allah, kumohon lindungi mereka dan selamatkan mereka dari keburukan."
Sungguh, kerinduan ini masih terpendam dan terus bertambah setiap harinya. Aku mulai menikmati rasa rindu ini dan berharap mereka akan baik-baik saja. Di sini, di tempat ini kuniatkan untuk mencari ilmu agar dapat menjadi bekal masa depan nanti. Semuanya mulai kunikmati dan bersyukur karena nikmatNya yang hingga kini masih dapat terasa.
Selama di sini, banyak pengalamanku yang pastinya tak terlupakan. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat kuambil. Tukang koran, penjual pecel, anak jalanan, teman-temanku, dan pelajaran dari semua orang yang pernah kutemui. Banyak sekali hal yang menjadikanku merenungkan diri lagi. Apa aku sudah baik? Apa aku justru lebih buruk?
Suatu ketika, ada seorang penjual nasi pecel yang membuka toko di pinggir jalan.
"Nasi pecel satu ya, Pak!" kataku
"O iya, Mbak!"
Aku duduk sembari menikmati pemandangan jalan raya yang sudah dipadati kendaraan padahal masih pagi sekali. Yah, ini memang hari aktif orang-orang bekerja dan beraktivitas.
"Dimakan di sini apa dibungkus, Mbak?"
"Dimakan di sini saja, Pak."
Sejak awal masuk kuliah, warung ini memang sering menjadi pilihanku menyantap hidangan pecel khasnya. Dengan merogoh kocek sedikit, sudah mendapatkan seporsi nasi pecel lengkap dengan lauknya. Porsinya pun cukup banyak. Hmm.... Kenyang sekali untuk ukuran perutku. Yah, alhamdulillah.
Aku mengamati bagaimana Bapak itu melayani pelanggannya. Banyak pembeli yang mengantri. Rupanya hampir setiap hari warung ini selalu ramai. Satu hal yang kuingat dan kudapati, bahwa Bapak penjual pecel ini selalu tersenyum ramah. Membuat pelanggan jadi nyaman.
Senyuman Bapak penjual pecel itu membuatku berpikir lagi. Merenungkan dan membandingkannya denganku. Apa aku selama ini masih selalu tersenyum pada orang lain? Walau selelah apa pun? Seperti Bapak ini. Ternyata memang tidak sebaik itu. Aku sesekali memasang wajah marah dan cemberut ketika badmood atau sedang dalam kondisi yang amat lelah. Padahal Bapak pasti lebih lelah daripada aku. Beliau bukanlah mahasiswa lagi, tapi kepala rumah tangga. Di benakku, seorang kepala rumah tangga akan lebih banyak pikirannya daripada seorang mahasiswa sepertiku yang belum berumah tangga pula.
Tuhan, mungkin ini adalah pengingat untukku. Bapak memberiku banyak pelajaran. Salah satunya keramahannya dan senyumnya pada para pembeli walau selelah apa pun ia bekerja, tapi senyumnya masih tetap merekah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
My Story: Sabar Itu Berbatas 'kah?
Tiga tahun yang lalu, aku tak pernah terpikir bahwa hadiah itu akan diberikan oleh orang tuaku. Semua orang tahu bahwa sekarang ini jaman ca...
-
Hanya bermodalkan niat karena sudah 'terlanjur', Herni memberanikan diri bepergian sendirian tanpa teman ke kota yang asing baginya...
-
Kata orang, istirahat saja sebelum kamu kelelahan. Kalau lelah, ya istirahat, berhenti, tidur. Memang benar begitu. Selama beberapa hari, be...
-
Wahai, hati! mudah sekali bagimu untuk berubah mudah nian api amarah menyala tanpa aba-aba bagi yang tanpa persiapan menyambar sesuka ha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar