Rabu, 29 Juni 2011

Keep Fighting Tanpa Ending

Kata itu yang ingin aku ucap sekarang. Sebuah kata yang tulus dari hatiku. Walau tidak pernah kutahu mengapa jadinya begini. Mengapa aku mengalaminya? Sakit, sungguh. Entah sejak kapan itu kualami.
Ketika itu, umurku masih dua belas tahun. Baru saja aku menjadi siswa baru di sini. Menyenangkan! Bayangan dalam benakku adalah aku akan banyak bertemu orang-orang baru, teman-teman baru, pengalaman baru. Apa yang akan terjadi selalu menjadi misteri yang terkadang mengejutkan.
“Baiklah, sekarang kita harus memilih satu di antara kalian yang akan jadi ketua kelas. Yang bersedia untuk mengajukan diri, silahkan angkat tangan!” Wali kelasku, Pak Karyo, mengamati dengan seksama setiap tangan yang mungkin akan terangkat untuk sukarela. Satu, dua.
“Ya, kalian majulah!” Tiga.
“Silahkan, kamu maju! Ada lagi yang ingin mengajukan diri?”
Kali ini hening. Tidak ada lagi. Akhirnya terkumpullah tiga orang calon yang akan dipilih.
“Baik, saya akan menuliskan nama mereka di papan, kalian maju satu per satu untuk memilih salah satu dari mereka yang kalian inginkan menjadi ketua kelas. Mulai dari pojok kanan depan.”
Kami maju satu demi satu. Memegang kapur tulis, dan memilih salah satunya. Persaingan mulai ketat. Hingga tiba giliranku.
“Hmm... Pilih yang mana ya? Semuanya gak ada yang kukenal,” gumamku dalam batin. Saat itu aku menggunakan feeling saja memilihnya. Sama saja jika aku berpikir terlalu lama. Karena, aku juga tidak mengenal mereka sama sekali. Hatiku meyakini satu nama.
“Ok! Selanjutnya!”
Aku melihat sang pemilik nama itu. Ia berdiri tegap. Dari sikapnya, sepertinya dia orang yang tegas. Semoga pilihanku benar.
“Sekarang, keputusannya sudah diambil. Rino, selamat! Kamu ketua kelasnya dengan jumlah pemilih 16 orang.”
“Huft! Syukurlah!”
Leganya! Ketua kelas sudah terpilih. Rio, dia yang kupilih dan kurasa cocok menjadi ketua kami dan pencuri hatiku saat itu. Sungguh, itu terjadi secara tidak sengaja. Aku masih meragukannya juga.
Hari ini benar-benar bad mood. Kelas ini jadi seperti pasar ayam. Menyebalkan! Benci sekali dengan keadaan seperti ini. Sangat mengganggu konsentrasi belajarku.
“Wooy! Bisa diem gak sih? Gak tahu apa ada yang lagi belajar,” Akhirnya emosiku meledak juga. Seperti bom yang membungkam semua mulut di ruangan itu secara tiba-tiba. Kulihat sekelilingku. Semua terdiam. Ada yang kelihatan kaget sampai terbelalak. Aku bersikap biasa saja karena memang bukan salahku.
Aku menatap ke arah Rio. Dua jempolnya diangkat. Itu untukku. Apa aku sebegitu galaknya ya? Terkadang terlintas juga pertanyaan itu.
“Kamu hebat, Na. Tadi itu menakjubkan lho!” Wah, jadi malu. Cuma bisa tersenyum kecil. Ini pujian kurasa.
“Iya. Habisnya aku terganggu banget sama suaranya mereka.”
“O... Gitu. Ya udah. Lanjutin aja belajarnya. Aku duluan ya!”
“Iya.”
Kalo dilihat-lihat, dia tidak jelek kok. Pintar, baik, tegas, sholeh juga. Buatku, perfect. Jantungku berdegup agak kencang.
“Kenapa ini?” aku ragu dengan keadaan ini.
Kelas dimulai lagi. Ketika guru Biologiku memberikan tugas, kami pun mengerjakannya dengan tenang. Dan ketika itu pula, tanpa aku sadari, mataku memaksaku mengalihkan perhatian pada Rio. Curi-curi pandang pun terjadi.
“Haduh, kenapa aku begini?” batinku.
Setiap malam, pagi, sore, setiap saat, dimana pun, bajah Rio tidak pernah pergi. Saat tidur, mimpiku pun ada dirinya. Kenapa aku ingin dia selalu tertawa? Dan aku ingin dia yang ada selalu di dekatku, dimana pun keberadaanku. Di saat senang, maupun sedih. Kebahagiaannya, senyumnya, itu semua membuatku lega. Rasanya nyaman dan tenang. Itu cukup bagiku.
Semakin hari, perasaan ini semakin dalam. Terbersit keinginan menyatakan rasa ini. Tapi, aku tidak ingin dia tahu itu aku. Tidak untuk saat ini.
“Na, ngerjain apa?”
“Eh, Ri.. Rio. Ngerjain tugas yang kemarin dikasih Bu Retno.”
“Sudah selesai?”
“Iya.”
“Wah, kebetulan! Aku bingung yang nomer ini. Kamu bisa mengajarkan rumusnya ke aku kan?”
“Mmm... Boleh,” Tuhan... Terima kasih telah mendekatkanku dengannya sedekat ini. aku senang, Ya Rabb. Walau degupan ini membuatku gugup.
Beberapa minggu lagi sudah UAS. Persiapannya tentu harus matang. Setiap hari yang kulakukan hanyalah berkutat dengan buku-buku dan rumus-rumus. Biar saja sekarang kuluangkan waktuku sebanyak-banyaknya dengan buku-buku tersayang ini. Yah, belajar pun teringat Rio. Lagi-lagi, dia muncul. Syukurlah itu justru memacu keinginan belajarku mengingat Rio itu anak yang pandai. Cerdas dan sering juara kelas. Aku tidak boleh kalah tentunya. Aku justru ingin menyainginya.
“Ok! Sekarang harus bisa lebih baik!”
Semangatku tambah membara. Sebenarnya, dulu sempat merasa sakit hati karena Rio memilih teman sekelas kami. Tita namanya. Yah, kuakui dia jauh, jauh lebih baik daripada aku. Cantik, mandiri, cerdas pula, dan lemah lembut. Apa lagi yang kurang untuk memikat hati seorang lelaki seperti Rio? Perih sekali. Itu tiba-tiba saja. Aku bahkan tidak bisa menahannya. Kubiarkan saja semua rasa ini mengalir dengan sendirinya. Seperti air hujan yang menyatu di aliran sungai. Semenjak itu, aku jadi lebih mellow.
“Rio, seandainya kamu tahu apa yang kurasain sekarang ini. Kamu tahu? Aku tulus. Aku bahagia jika kamu jua bahagia. Walau sakit rasanya melihat kalian bersama.”
Cinta. Yah, cinta. Mungkin itu yang kualami sekarang. Aku berusaha menyangkalnya karena usiaku masih sangat muda. Masih SMP. Mana mungkin? Tapi bisa saja begitu. Cinta. Itu yang akhirnya kuyakini sekarang. Cinta tulus padanya. Tuhan, tolong sampaikan perasaan ini padanya walau tanpa kata yang kuucapkan sepatah pun. Saat ini, ini adalah rahasia antara aku denganMu ya Rabb. Biar kunikmati rahasia indah ini.
Hari perpisahan SMP-ku tiba. Alhamdulillah, semuanya lulus. Senangnya!
“Na, selamat ya!”
“Makasih, Ri. Kamu juga. Selamat ya! Habis ini mau kemana?”
“Pengennya ke SMA 1. Doakan aku ya!”
“Iya, pasti! Semoga berhasil!” Kami tersenyum bersama. Ria sudah menemukan tujuannya. Aku pun sudah. Alasannya, karena Rio memilih sekolah itu juga.
Hari-hari pendaftaran pun tiba. Ayahku sibuk mengurus berkas-berkas keperluan pendaftaran itu. Ibuku tak kalah sibuk. Mengecek akta kelahiran, surat keluarga, bla bla bla. aku juga. Di sini ‘kan akulah pelaku utamanya. Ini tentang masa depanku juga.
“Surat tanda kelulusan, rapot, foto copy ijazah. Sudah lengkap. Yah, sudah semua.”
“Ok! Ayo berangkat !”
“Ma, berangkat dulu ya!”
“Hati-hati!”
Hari pertama pendaftaran siswa baru SMA dibuka. Aku dan ayah menuju papan pengumuman. Masih kosong. Tentu saja. Siswa baru saja mendaftarkan diri. Meja pendaftaran sudah ramai dipenuhi siswa yang akan mendaftarkan diri. Hawa persaingan ada di sini. Rasanya amat pekat. Yang kuandalkan hanya nilai ini. Prestasi? Tak ada. Nihil. Itu semakin membuatku harap-harap cemas.
Hari kedua kulihat papan pengumuman di SMA 1. Ayah yang paling gencar mencari namaku. Jantungku mendadak semakin kencang ketika namaku ditemukan. Ada di deretan angka tiga digit. Di bawah garis batas. Hampir saja air mataku jatuh kalau aku tidak ingat ini adalah tempat umum. Memang bukan takdirku di sini.
Perjalanan mencari SMA untuk mendaftar semakin gencar. Ayah dan Mama punya pilihan yang menurut mereka itu baik, tapi menurutku sedikit keberatan. Kau tahu alasannya. Salah satunya masih tentang Rio. Akhirnya, aku mengalah asalkan itu dapat membahagiakan orang tuaku. Restu mereka selalu menyertaiku. Pilihanku pun seperti apa yang mereka harapkan. Di sini, di SMA 2 ini aku mendaftar dan menjadi tempat belajarku 3 tahun nanti.
Tanpa Rio, semangatku memadam. Mungkin karena selama ini aku terbiasa memotivasi diriku dengannya. Dengan dia sebagai alasannya, aku terus giat mempertahankan prestasiku. Sekarang, tidak ada yang membuatku seperti itu. Ditambah lagi, sekarang aku jauh dari orang tua. Tepatnya nge-kost di kota.
“Na, kamu kenapa?” Fara sedikit terkejut melihat kondisiku.
“Tak apa, Fa.”
“Lalu, kenapa kamu menangis?”
Apa yang harus kujawab sekarang? Apa aku akan bilang bahwa aku merindukan masa-masa kemarin? Ketika Rio masih satu sekolah denganku, ketika aku bisa dengan mudah pulang ke rumah tanpa harus menunggu akhir pekan? Ketika semangatku masih menyala karena perasaan yang kusebut dan kuartikan ‘cinta’ itu? Yang mungkin itu adalah perasaan ‘cinta’ monyet seorang anak SMP polos dan masih sangat muda.
“Tidak, Fa. Tadi kelilipan,” Jawabku asal. Ekspresi Fara bisa kubaca. Aku hanya terdiam setelahnya.
Berbulan-bulan, tepatnya empat bulan sudah aku di sini. Kesedihan yang kurasakan masih tetap ada. Aku jadi pendiam. Tiap malam, kubenamkan wajahku pada bantal dan guling. Aku menangis tanpa suara. Sebisa mungkin tidak ada yang tahu. Tidak boleh ada yang tahu. Di perempat malam, tangisku lagi. Setelah tahajjud pun, masih saja begitu. Nafsu makan pun berkurang. Terkadang hanya makan roti sekali sehari.
“Na, kamu kelihatan pucat. Kamu baik-baik saja ‘kan?”
“Iya, Fa. Aku baik-baik saja kok,” Bagiku, tak ada apa-apa. Walau sebenarnya perutku sakit. Ada rasa mual. Aku harap tidak akan tambah parah nanti.
Ternyata salah. Perutku semakin sakit. Rasa sakitnya tidak bisa dideskripsikan seperti apa. Perih sekali. Semakin lama semakin sakit. Mualnya juga semakin menjadi. Seperti mau muntah, tapi tidak bisa.
“Fa, tolong antar aku ke ruang guru ya.”
“Ada apa, Na?”
“Perutku sakit. Aku sudah tidak tahan, Fa,” Benar-benar tidak kuat.
“Ya sudah kamu di sini saja. Aku yang ke kantor guru.”
“Makasih ya, Fa.”
Fara datang kembali dan membawakan tasku keluar. Aku ingin segera berbaring. Sakit sekali.
“Na, kuantar pulang ya?”
“Gak usah, Fa. Aku sendiri saja.”
“Fa, kamu ‘kan sedang sakit begini.”
“Aku masih kuat kok untuk jalan ke kost. Kamu gak perlu khawatir ya.”
“Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, Na!”
“Iya.”
Langkahku sempoyongan. Tapi aku tidak mau merepotkan orang lain. Sebenarnya memang tidak terlalu kuat. Biar saja aku paksakan sendiri.
“Aduh!” Perutku terasa tambah sakit. Sebentar berjalan, sebentar berhenti.
“Ada apa, Nak? Kamu kok jongkok-jongkok begitu?”
“Sakit, Pak,” Kataku sambil memegangi perutku.
“Ayo, Bapak antar!”
“Tidak usah, Pak. Saya masih bisa kok, Pak.”
“Sudah, jangan menolak begitu. Kamu itu sudah terlihat pucat sekali.”
Aku pun menurut. Bapak ini mengantarkanku hingga kost. Aku berterima kasih dan bergegas menuju kamar. Badanku asal rebah. Ada apa denganku ini? Tidak pernah sebelumnya seperti ini.
Dua hari sudah aku sakit. Teman-teman sekamar ikut merawatku. Benar-benar merepotkan orang lagi. Mereka ikutan bingung. Nafsu makanku semakin buruk. Lidah terasa pahit. Mie goreng yang enak, jadi tidak enak kalau aku yang makan.
“Na, aku sudah telepon ayahmu. Nanti beliau akan ke sini.”
“Rena, aku ‘kan sudah bilang gak perlu telepon orang tuaku. Aku masih bisa kok bertahan.”
“Sampai kapan, Na? Kamu itu seharusnya istirahat dulu di rumah. Bukan memaksakan diri masuk sekolah. Sudah, pokoknya sekarang kamu harus istirahat!”
Yang terbersit dalam pikiranku saat itu adalah pertanyaan,
“Kenapa aku bisa sampai seperti ini?”
“Na, ayahmu sudah datang.”
Ayah masuk dan melihat kondisiku. Dia hanya diam. Menitipkan surat pada Rena dan membawaku pulang.
“Walau pun aku sempat marah, tapi terima kasih, Ren,” batinku.
“Rio, aku rindu kamu!” Lagi-lagi suara hatiku bicara.
“Hei! Kenapa kamu selalu memikirkannya? Dia itu siapa kamu?” Hatiku yang lain menjawab.
“Dia temanku walau bukan pacarku. Walau dia sudah punya pacar, walau dia gak suka sama aku, mencintainya bukan kesalahan. Toh, aku tidak merusak hubungan mereka,” sepertinya batinku berdebat sendiri. Ah, hentikan! Aku ingin tenang dulu. Biarkan sebentar saja tanpa ingatan tentangnya.
“Besok kita ke rumah sakit. Sekarang kamu istirahat saja.”
“Iya, Yah.”
“Kenapa kamu bisa seperti ini sih, Nak?” Aku hanya geleng-geleng kepala menjawab pertanyaan ibuku. Kupejamkan mataku setelah ibu keluar kamar. Air mataku memaksa keluar, sejenak. Dan mataku terpejam.
“Bagaimana hasilnya, Dok?”
“Anak Bapak mengalami gejala Tipes. Sepertinya makannya tidak teratur. Atau terlalu banyak pikiran dan aktivitas.”
Ayah menoleh padaku. Aku cuma tertunduk. Diam. Tidak ada yang perlu aku jawab. Kurasa begitu.
“Ini resep obatnya. Jangan sampai telat makan ya, Dek!”
“Iya, Dok. Terima kasih.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama, Pak.”
Berhari-hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Tidak melakukan aktivitas apa pun. Energiku tidak ada. Selama itulah aku berpikir keras. Apa penyebabnya? Keadaanku ini, bagaimana bisa? Karena Rio? Lagi? Kenapa karena dia? Apa cinta itu?
Beep... Beep...Beep..
Telepon genggamku bergetar. Banyak sms masuk. Ternyata teman-temanku. Mereka semua mendoakan aku dan mengharapkan kesembuhanku.
“Terima kasih, teman!” batinku dalam hati. Tangisku menyertai. Ternyata selama ini banyak yang perhatian kepadaku. Selama sakit, aku menyusahkan banyak orang. Keadaan ini menyiksaku pula. Sudah saatnya aku menghadapi hidup dengan tegar dan semangat tanpa harus menitikberatkan kenangan dan kerinduan pada Rio. Dia cintaku, bukan berarti menjadi penghambat semangatku ketika kami berjauhan.
“Na!”
“Hei, Fa!” Pelukan Fara hampir membuatku terjatuh.
“Aku senang kamu bisa masuk sekolah lagi. Sudah baikan ‘kan?”
“Iya donk! Labih baik dari sebelumnya malah.”
“Baguslah! Kita bisa belajar bareng lagi ‘kan?”
“Iya, Fara temanku yang cantik,” Kami tersenyum bersama. Syukurlah aku benar-benar sembuh kini. Semangat baru untuk hari-hari baru yang menanti.
Rio, terima kasih sudah membuatku mencintaimu. Terima kasih sudah mengenalku. Terima kasih sudah membuatku semangat karenamu dulu. Sekarang, semangatku masih sama tapi tidak mungkin selalu karenamu karena keadaanya berbeda. Jika nanti kita berjumpa, semoga perasaan ini akan semakin baik lagi. Baik-baiklah dimana pun kamu berada, karena aku ingin melihatmu semakin baik jika kita dipertemukan lagi. 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Story: Sabar Itu Berbatas 'kah?

Tiga tahun yang lalu, aku tak pernah terpikir bahwa hadiah itu akan diberikan oleh orang tuaku. Semua orang tahu bahwa sekarang ini jaman ca...